Archive for July 2017
Sumber gambar: Imgrum.net |
Keindahan serta puncak kenikmatan
abadi untuk setiap partikel--berada. Keindahan, kecantikan serta
kepuasan yang tak mengenal jemu--menjamu. Sebuah tempat terindah dengan
hal-hal yang tak pernah ada di dunia--dinantikan. Pertanyaannya, adakah
yang tidak menginginkan suatu tempat yang disebut surga?
Akan
tetapi, sebuah dimensi ruang, betapa pun mahaindahnya hingga tak mampu
terlukis serta tertuang detailnya dalam aksara--masih sebatas tempat.
Hanyalah suatu ciptaan. Surga dan neraka
hanya ciptaan. Suatu hal yang kadang melenakan untuk diprioritaskan
antara perjumpaan dengan pencipta dan mengharap kridhaan ataukah hanya
menginginkan suatu wilayah yang disebut surga.
Disadari atau
tidak mengharapkan ciptaan dan mengharapkan keeidhaan pencipta memiliki
perbedaan mendasar. Barangkali, orang awam mengklaim kepemilikan serta
hak untuk tinggal di surga diorientasikan dengan pelabelan Islam dan
pelabelan non islam. Hal ini menuai perdebatan sengit hingga memecah
berberapa golongan dalam Islam sendiri. Permasalahan sederhana,
perebutan hak atas tinggal di surga yang tidak lain seperti sebuah
analogi antara tunawisma yang memperebutkan sepetak tanah dengan tidak
mempedulikan kewenangan mutlak dari pemilik tanah yang sesungguhnya.
Memang klise untuk mengasumsikan bahwa perebutan hak untuk tinggal di
surga namun meniadakan mahabijak Tuhan atas kebijaksanaan absolut untuk
menetapkan mana yang dipilih untuk diridhai atau tidak.
Somewhere Called Paradise
Sumber gambar: pinterest.com
Bunga itu cantik menurut sebagian orang. Begitu seharusnya dan selalu begitu pada akhirnya. Sayang dan untungnya, memetik dan merawat memiliki perbedaan mendasar. Petikan bunga bisa disebut hasil akhir sementara merawat dari bagaimana daun pertama muncul adalah hal sebaliknya.
Daun demi daun yang tumbuh dengan harus diimbangi dengan pertumbuhan akar dan juga kebutuhan air dan asupan unsur hara dalam tanah adalah hal yang dapat dipastikan bahwa hal ini sangat kecil diperhatikan oleh pemetik bunga. Hanya saja, setiap dari mereka yang mencoba untuk terus tumbuh harusnya memiliki kehidupan sendiri.
Gerbera Bouquet
I’ve been thinking hard for a while about
why I was born. About why I was separated from you. I think, there must
be some other meaning.
Senja entah berjuta kali terlewati tanpamu di sisi. Tanpa sua serta tatapan nyata sebagaimana kita berada. Inilah aku yang tengah bermain imaji tentang kita sementara engkau masih di sana dengan terpisah luasnya samudra pada hitungan tahun cahaya yang terus bertambah setiap satuan detik pada skala dimensi ruang dikali waktu sebagai hasil hitungan lamanya menunggu.
Menunggu itu bosan, kata orang. Menunggu adalah hal terbaik untuk membuang waktu, kata orang yang lain. Namun sayang dan untungnya, aku tak pernah sepakat atas setiap pernyataan itu. Sementara pertanyaanku, benarkah kita benar-benar menunggu agar sang waktu segera berlalu ataukah waktu yang menunggu untuk setiap dari kita harus melaju?
Kukira, teruntuk kita berdua sejatinya tidak menunggu sebagaimana waktu tak mau menunggu atau pun dipacu. Dan kita tidak saling menunggu. Kita telah berada pada jalan kita masing-masing yang membuat kita berpisah satu sama lain sejak mengenal dunia kali pertama, bahkan jika di persimpangan waktu menjamu temu, kita tetaplah manusia dengan anatomi berbeda dengan masih menyandang segala hal berbeda meski terkesan identik sama. Karena itulah kita saling membutuhkan sekaligus sebuah alasan kenapa manusia ada di dunia fana. Singkat kata, sang waktu tengah bertanya, siapkah kita untuk terus maju meninggalkan sisi kelam di masa silam?
Kehidupan dunia ini sederhana sebenarnya, kita hanya harus menghadapi hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Sementara waktu dengan kekuasaannya, akan memakan apa pun yang ada di depannya dan menyisakan apa yang ada di belakangnya sebagai kenangan. Namun versiku, bukan kenangan melainkan pelajaran. Apa pun itu.
Kini, dengan kesempatan ini, izinkan aku bertanya, “Apa yang rindu ingin kau sampaikan kala pertemuan?”
Engkau berpikir, merangkai tema yang pas serta kata-kata yang pantas sekiranya disampaikan meski sebagian tidak perlu di sampaikan.
“Aku masih menjadi temanmu yang ingin menjadi teman hidupmu,” kataku lagi.
Kau akhirnya semakin berpikir. Mengeja, mencari makna yang ada dari kata-kataku barusan.
Senja entah berjuta kali terlewati tanpamu di sisi. Tanpa sua serta tatapan nyata sebagaimana kita berada. Inilah aku yang tengah bermain imaji tentang kita sementara engkau masih di sana dengan terpisah luasnya samudra pada hitungan tahun cahaya yang terus bertambah setiap satuan detik pada skala dimensi ruang dikali waktu sebagai hasil hitungan lamanya menunggu.
Menunggu itu bosan, kata orang. Menunggu adalah hal terbaik untuk membuang waktu, kata orang yang lain. Namun sayang dan untungnya, aku tak pernah sepakat atas setiap pernyataan itu. Sementara pertanyaanku, benarkah kita benar-benar menunggu agar sang waktu segera berlalu ataukah waktu yang menunggu untuk setiap dari kita harus melaju?
Kukira, teruntuk kita berdua sejatinya tidak menunggu sebagaimana waktu tak mau menunggu atau pun dipacu. Dan kita tidak saling menunggu. Kita telah berada pada jalan kita masing-masing yang membuat kita berpisah satu sama lain sejak mengenal dunia kali pertama, bahkan jika di persimpangan waktu menjamu temu, kita tetaplah manusia dengan anatomi berbeda dengan masih menyandang segala hal berbeda meski terkesan identik sama. Karena itulah kita saling membutuhkan sekaligus sebuah alasan kenapa manusia ada di dunia fana. Singkat kata, sang waktu tengah bertanya, siapkah kita untuk terus maju meninggalkan sisi kelam di masa silam?
Kehidupan dunia ini sederhana sebenarnya, kita hanya harus menghadapi hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Sementara waktu dengan kekuasaannya, akan memakan apa pun yang ada di depannya dan menyisakan apa yang ada di belakangnya sebagai kenangan. Namun versiku, bukan kenangan melainkan pelajaran. Apa pun itu.
Kini, dengan kesempatan ini, izinkan aku bertanya, “Apa yang rindu ingin kau sampaikan kala pertemuan?”
Engkau berpikir, merangkai tema yang pas serta kata-kata yang pantas sekiranya disampaikan meski sebagian tidak perlu di sampaikan.
“Aku masih menjadi temanmu yang ingin menjadi teman hidupmu,” kataku lagi.
Kau akhirnya semakin berpikir. Mengeja, mencari makna yang ada dari kata-kataku barusan.