Shingeki no Kyojin Season 3
Diakui, judul di atas memang ngeri. Namun alur cerita kenapa Eren harus
memakan ayah kandungnya sendiri jauh lebih mengerikan.
Kisahnya sangat panjang terkait bagaimana Grisha Yaeger memiliki dua kekuatan
besar titan shifter yakni rogue titan dari orang yang
menyelamatkan hidupnya Eren Kruger, dan
founding titan dari Frieda Reiss. Namun hal terpenting yang ingin
disampaikan di sini bahwa konsekuensi memiliki kekuatan titan shifter—menanggung batas umur maksimum tiga belas tahun. Dan harus
sudah diwariskan sebelum jangka usia habis. Atau jika tidak diwariskan, semua
akan seperti air yang menguap dan tak bersisa.
Biar begitu, cara mewariskannya tidak main-main. Satu-satunya cara untuk
mewariskan kekuatan titan shifter kepada
generasi penerusnya, si pewaris harus menjadi titan dan memakan orang tersebut. Itulah kenapa Grisha Yaeger
menyuntikkan cairan titan ke tubuh
Eren. Lalu, Eren yang menjadi titan tanpa
sadar telah memakan ayahnya sendiri. Ia menjadi orang yang kuat dengan menghapus
sosok sang ayah.
Terus terang saja menghapus bayang-bayang ayah dalam kehidupan kita bukanlah
satire. Seorang anak hanya akan menjadi hebat manakala tidak lagi bergantung
pada ayahnya atau dalam hal ini saya lebih suka menuliskannya dengan ‘menghapus
sosok sang ayah’. Entah itu harta, status sosial yang disandang dan hal-hal
lain dari sang ayah.
Maksudnya begini, memang kenyataannya sosok ayah akan mengorbankan apa pun
tanpa terkecuali nyawanya sendiri demi mengupayakan yang terbaik untuk anaknya.
Ini hal yang wajar meski sebagian dari kita tidak menyadarinya. Di sisi lain,
selama si anak terus bergantung pada ayahnya, ia tidak pernah menjadi
siapa-siapa.
Misalnya, ayah saya kan seorang raja, kenapa saya harus belajar berpedang? Atau,
ayah saya kan seorang pengusaha kaya raya, kenapa saya harus bekerja? Atau, ayah
saya kan ilmuan hebat, kenapa saya harus membaca buku? Dan sebagainya.
Sebagian dari kita mungkin sepakat bahwa buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya. Tapi satu hal yang barangkali dilupakan oleh kita semua bahwa, buah
yang jatuh tidak selalu dalam keadaan baik. Adakalanya dimakan ulat, jatuh
sebelum matang, atau bisa jadi terkontaminasi hingga membusuk. Ditambah lagi,
biji yang dikandung dalam buah belum tentu bisa tumbuh dengan baik karena berbagai
faktor alam. Dan sekali pun mampu tumbuh bersemi belum tentu sehebat generasi
pendahulunya.
Saya harap Anda semua meragukan ini semua. Karena jika kita bisa meluangkan
waktu sejenak untuk melihat area persawahan dengan ragam tanaman yang ada di
sana, kita bisa temukan jawabannya. Di sana, hanya benih terbaik yang ditanam. Namun
tiada jaminan bahwa hasil panennya bagus. Tanaman jagung misalnya, di usia prima
hanya menghasilkan jagung putih dan tidak bisa dibanggakan hasil panennya,
bukanlah hal baru.
Jadi, apa poin terpenting dalam pembahasan kali ini? Saya rasa tidak ada. Semua
kembali pada pemahaman masing-masing. Membanggakan garis keturunan dan
memujanya adalah hal biasa dan tidak ada yang salah.
Yang jelas, kehidupan ini Anda sendiri yang menjalani. Tidak ada peran
pengganti. Setiap tetes air mata, keringat bahkan darah sekali pun yang Anda
keluarkan, tidak ada rekayasa karena ini semua bukan drama.
Filosofi Grisha Yaeger yang Dimakan Anaknya Sendiri
Shingeki no Kyojin Attack on Titan Season 2
“Setiap orang setidaknya memiliki satu atau dua kesalahan! Jika kau mencoba
memungkiri sedikit saja, maka tidaklah buruk,” ucap Ymir meyakinkan Historia,
gadis polos berambut pirang yang akrab disapa Christa. Ymir berencana mengikuti
Reiner Braun dan Bertolt Hoover meski ia tahu bahwa keduanya telah meruntuhkan
dinding pertahan. Kedamaian serta kehidupan tentram dalam dinding yang telah
berlangsung selama seratus tahun akhirnya berubah menjadi kekacauan dan
pertumpahan darah dalam sekejap.
Reiner dan Bertolt bersalah itu adalah fakta. Keduanya melakukannya karena
suka atau terpaksa, tetap saja tidak akan mengubah realita. Sebagian membenci
dan sebagian lagi memuji sementara sisanya menganggap lumrah pada peritiwa yang
mereka perbuat. Inilah benang merah yang ingin saya bahas dalam tulisan singkat
ini. Penilaian.
Dalam keseharian kita, barangkali kita temui pihak kepolisian menembak mati
sekawanan perampok atau pelaku tindak kriminal berbahaya lainnya. Tidak
diragukan jika sebagian memuji mereka karena prestasi gemilangnya. Di sisi
lain, apa yang mereka lakukan adalah menghilangkan nyawa manusia. Seburuk apa
pun pelaku kriminal, akan tetap ada luka mendalam untuk sanak keluarga yang
ditinggalkan. Mereka melakukannya karena suka atau terpaksa, tetap saja dinilai
bersalah. Dan sekali pun di dunia ini benar-benar bisa bersih tanpa tindak
kejahatan, konsekuensinya tugas mereka tidak lebih dari pengatur lalu lintas
dan sedikti membantu persoalan hidup bermasyarakat. Itu pun jikalau memang
dibutuhkan. Kalau pada akhirnya tidak ada yang perlu diatur dan dibantu, akan
beda ceritanya.
Pada kasus lain ketika saya singgung perihal mantan, barangkali yang
terlintas dalam pikiran merupakan sosok yang pernah hadir dalam kehidupan kita.
Sewujud yang pernah tinggal dalam ruang hati dan menemani dalam hari-hari
hingga ia hilang meninggalkan atau kita tinggalkan. Lalu kita mencaci dirinya
dan memuju sosok kekasih baru. Pertanyaanya, seberapa abnormalkah tindakan kita
yang membandingkan satu sama lain hingga memuji siapa yang dipilih dan mencaci
dia yang tidak dipilih?
Jujur saja, latar belakang kenapa tulisan ini saya kerjakan karena ada rasa
muak, serasa ingin muntah melihat beranda yang dipenuhi dengan pernyataan
memuji kubu A dan mencaci kubu B, atau pun sebaliknya—mengingat kedua kubu
tersebut akan berduel merebutkan kursi nomor satu di negeri ini. Di satu sisi
diperlakukan layaknya seorang mantan yang pernah kita saksikan rutinitasnya
hingga keburukan serta kebaikannya bisa dilihat dari permukaan sementara sisi
satunya layaknya kekasih baru yang siap didamba dan dipuji. Sebaliknya, pihak
satu seolah menganggap lawannya adalah pendatang yang harus dihentikan agar
singgasana lama tidak bergeser. Apakah dengan hal semacam ini kehidupan kita
harus dijalani? Benarkah tidak masalah untuk menganggap ini semua baik-baik
saja?
Rasa suka adalah selera. Tidak ada hak memaksa untuk suka atau tidak. Tidak
ada yang salah dengan memihak kubu tertentu karena menilai baik dan memungkiri
satu-dua kesalahan yang pernah diperbuat. Yang jadi masalah adalah ketika
mengumbar ajaran kebencian yang membandingkan satu sama lain, lalu
menjelek-jelekkan pihak lawan seolah ia harusnya tidak pernah dilahirkan. Ladies and gentlemen, there’s nothing perfect person in this f***
world.
Come on guys, we are ordinary
human.
Penilaian
Sudah selesai dan tak perlu lagi kau habiskan energimu dengan sia-sia. Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar berubah. Dan itu bukanlah masalah.
Kau memang tidak memiliki apa yang dimiliki orang lain namun sebaliknya,kau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Dan kau bisa melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh dirimu seorang. Itulah keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang mencakup bahwa setiap yang dimiliki atau dititipi--selalu berwujud materi atau subtansi berbeda.
Ingatlah akan janjimu yang kau ucapkan kepada dirimu sendiri bahwa apa pun yang kau lakukan ataupun kau perjuangkan hanyalah untuk dirimu seorang. Jauhilah perbudakan atas dasar apa pun, tanpa terkecuali atas nama cinta. Pahami janjimu sendiri kala itu.
Semua yang berlalu hingga saat ini telah berakhir. Dan inilah babak baru dalam hidupmu. Kau boleh kehilangan sesuatu, bahkan meski sangat berharga dari dirimu. Entah kasih atau apapun yang bisa saja hilang darimu. Namun ingatlah bahwa satu hal yang tidak boleh hilang adalah dirimu sendiri. Kemampuan bertahanmu yang mengesankan, kemampuan berpikirmu dan singkat kata, karakter dirimu. Karena di situlah terletak esensi atau hakikat segala sesuatu.
Lihatlah sekelilingmu, bagaimana daun-daun yang tumbuh dengan serat yang khas, bagaimana burung-burung terbang dengan sayap kebebasannya dan lihatlah bagaimana senja yang membawa pesan untuk setiap hal yang dikenang. Karena kenangan bukanlah hal yang harus ditangisi namun sebuah saksi bahwa hidupmu begitu indah dan akan selalu indah hingga udara terakhir kau hirup.
.
Kau memang tidak memiliki apa yang dimiliki orang lain namun sebaliknya,kau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Dan kau bisa melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh dirimu seorang. Itulah keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang mencakup bahwa setiap yang dimiliki atau dititipi--selalu berwujud materi atau subtansi berbeda.
Ingatlah akan janjimu yang kau ucapkan kepada dirimu sendiri bahwa apa pun yang kau lakukan ataupun kau perjuangkan hanyalah untuk dirimu seorang. Jauhilah perbudakan atas dasar apa pun, tanpa terkecuali atas nama cinta. Pahami janjimu sendiri kala itu.
Semua yang berlalu hingga saat ini telah berakhir. Dan inilah babak baru dalam hidupmu. Kau boleh kehilangan sesuatu, bahkan meski sangat berharga dari dirimu. Entah kasih atau apapun yang bisa saja hilang darimu. Namun ingatlah bahwa satu hal yang tidak boleh hilang adalah dirimu sendiri. Kemampuan bertahanmu yang mengesankan, kemampuan berpikirmu dan singkat kata, karakter dirimu. Karena di situlah terletak esensi atau hakikat segala sesuatu.
Lihatlah sekelilingmu, bagaimana daun-daun yang tumbuh dengan serat yang khas, bagaimana burung-burung terbang dengan sayap kebebasannya dan lihatlah bagaimana senja yang membawa pesan untuk setiap hal yang dikenang. Karena kenangan bukanlah hal yang harus ditangisi namun sebuah saksi bahwa hidupmu begitu indah dan akan selalu indah hingga udara terakhir kau hirup.
.
Diakui, dunia memang kejam. Penuh kebohongan serta hal-hal yang kian memberimu peluang untuk cidera. Namun dunia juga memberi kesempatan dan peluang untuk berbahagia.
Terakhir, ucapkan selamat jalan untuk sang mantan dan sampaikan terima kasih padanya bahwa hidup yang pernah kalian jalani adalah kisah yang sangat romantis dan indah. Dan akan jauh lebih romantis dan harmonis lagi ketika kalian hidup dengan pasangan masing-masing.
Perpisahan adalah awal yang baru. Jangan lupa bahagia.
Terakhir, ucapkan selamat jalan untuk sang mantan dan sampaikan terima kasih padanya bahwa hidup yang pernah kalian jalani adalah kisah yang sangat romantis dan indah. Dan akan jauh lebih romantis dan harmonis lagi ketika kalian hidup dengan pasangan masing-masing.
Perpisahan adalah awal yang baru. Jangan lupa bahagia.
Move On
To do something great, become rich and famous, marry our sweetheart and have cute little kids.
But most of us never realize those dreams and as the years pass, they drift away from our mind one by one like leaves in autumn.
We think they crumble away and disappear... but in truth, they're always there, only scattered away by the wind of fate.
And fate, as we all know, is a fikle thing. Sometimes she drops one of those leaves in our path just to see what we'd do.
Of course, we're bound to pick it up...,"
Kata-kata ini saya temukan dalam sebuah game Front Mission 4 dan menurut saya menarik. Saya juga sepakat terkait pesan-pesan yang terkesan sederhana namun begitu mendalam.
I agree that everyone wanna be rich and famous, have little cute kids and so on. Every singgle one. That's why we all make competition each other. That's truth.
Akan tetapi, dunia memang kejam. Kita bisa mendapatkan sesuatu dengan kesungguhan kita sementara yang lain hanya mencaci. Bahkan tak sedikit yang turut menghalangi dalam setiap pencapaian kita. Pertanyaannya adalah kenapa mereka bersedia bersusah menggagalkan kemenangan kita sementara dahulunya mereka tak peduli ketika kita bersusah dalam setiap proses?
Sebagaiman dedaunan musim gugur, impian demi impian kerap kali kandas dengan beribu alasan. Hanya sebagian orang yang membutuhkan satu alasan untuk mewujudkannya. Dan itu tidak mudah. Ada harga yang harus dibayar dengan tenaga, keringat, air mata bahkan dengan darah--untuk meniti prosesnya. Hingga pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa kita harus menghiraukan perkataan orang lain yang jelas-jelas mereka tidak akan bisa paham tentang impian besar yang kita bangun dan realisasikan?
Di tangan ini memang penuh keterbatasan. Namun, melalui tangan ini, ada banyak hal yang bisa kita genggam dan perjuangkan sesuatu yang belum tentu orang lain mampu capai.
Apakah Kita Memikirkan Hal yang Sama?
theodysseyonline.com
“Apa kau benar-benar tidak ingin mencobanya?”
tanyaku.
“Mungkin akan menjadi hal luar biasa ketika orang
lain melakukannya. Ya, hanya sekadar melakukannya. Namun tidak untukku. Bahkan
jika aku mampu keluar sebagai pemenang, tak seorang pun akan peduli,” jawab
Jean.
Hening. Aku mengaduk-aduk bongkahan es dalam gelas
sekaligus mengaduk isi pikiranku. Mencoba mencerna kata demi kata dari apa yang
ia sampaikan barusan.
Jean meneguk susu terakhir di gelasnya.
“Namun, akan kupertimbangkan,” kata Jean.
“Barangkali bisa jadi kesan terakhirku di sini.”
“Apa maksudmu?”
Jean berlalu meninggalkan kantin sekolah.
Menyisakan pertanyaan demi pertanyaan yang tidak bisa kupahami. Yah, begitulah
Jean. Dia ke kantin hanya untuk sekadar minum susu atau kopi. Kalau tidak
begitu, paling-paling cuma ditambah roti. Katanya, “Aku butuh asupan yang cepat
dicerna atau aku akan tidur di kelas.” Dia selalu pergi dahulu ketika aku masih
menunggu sarapan pagiku yang masih disiapkan penjaga kantin.
Setelah dari kantin, tujuan Jean selanjutnya sulit
ditebak. Bahkan untuk teman sebangku sepertiku. Aku hanya bisa memastikan kalau
dia tidak berada di kelas, berarti dia hanya akan muncul setengah jam setelah
bel pulang berbunyi. Kecuali jika dia diciduk SATPOL PP atau guru BP di warnet
depan sekolah. Warnet itu sudah menjadi lokasi yang paling sering dikunjung. Pernah
dia pulang ke rumah dengan menggunakan bus, meninggalkan alat tulis beserta
perlengkapan sekolah yang berada dalam tas. Sejauh itulah yang aku tahu. .
Kebiasaan Jean membolos bermula sejak semester
genap ketika kelas X. Tepatnya setahun yang lalu. Sebenarnya jumlah bolosnya
tidak seberapa tetapi absen atau ketidakhadirannyalah yang terlampau sering.
Tadi sebelum ke kantin, dia menghabiskan satu jam pelajaran di ruang BP. Ketika
aku menanyakannya, dia hanya menjawab, “Seperti biasa. Tidak penting.”
Aku masih tidak paham apa yang dia pikirkan
sehingga menjawab demikian. Padahal, apa saja yang disampaikan guru BP selalu
mengandung pesan moral serta hal penting lainnya. Itu keyakinanku.
***
Usai pelajaran berakhir, kelas kembali gaduh.
Tidak lain karena lomba antar kelas yang diadakan sekali tiap tahunnya.
Kemarin, keputusan tentang siapa yang maju untuk mewakili lomba cerpen adalah
aku dan Jean. Jika pada akhirnya Jean tetap tidak mau, satu perwakilan saja
dianggap cukup. Perlu diketuhi, aku maju mewakili lomba ini bukan karena aku
bisa menulis cerpen, namun karena hanya akulah yang belum mendapatkanjatah
partisipasi lomba sementara yang lainnya sibuk sebagai panitia karena tergabung
sebagai OSIS. Untuk Jean, dia dianggap berpengalaman karena pernah ikut tahun
lalu.
Hari ini hasil rundingan teman sekelas hanya
memastikan bahwa nama-nama yang telah ditetapkan kemarin tidak berubah. Jadi,
rapat kelas hari iniberjalan lebih cepat dari kemarin sehingga aku bisa pulang
tidak terlalu sore. Dan semua diputuskan tanpa kehadiran Jean.
Sebelum pulang, aku merapikan buku-buku Jean lalu
memasukkannya ke tasmiliknya yang tertinggal di kelas. Bukan apa-apa, aku hanya
merasa kasihan. Sebenarnya dia adalah siswa yang cerdas. Bahkan bisa dibilang
genius. Hampir di setiap ulangan, kesalahan terbanyak hanya tiga. Selebihnya
hampir tidak ada kesalahan. Dan itu untuk setiap pelajaran. Sayangnya,
reputasinya buruk. Baik di hadapan guru ataupun di hadapan teman-teman.
Dua minggu lalu, ketika kelompok enam yang terdiri
dari lima siswa melaksanakan persentasi di kelas, salah seorang dari mereka
yang tidak perlu aku sebut namanya—membatasi pertanyaan. Katanya, “Semua boleh
bertanya kecuali Jean.”
Dalam batasan itu, sebenarnya hanya ada dua
kemungkinan. Pertama, karena tidak suka dengan siswa yang suka membolos. Kedua,
karena setiap pertanyaan Jean sulit dijawab. Alasan terakhir ini yang sering
terjadi ketika ia bertanya kepada guru yang mengajar. Biasanya jawaban yang
diberikan tidak sesuai dengan pertanyaan, kadang juga sang guru meminta waktu
dua hari untuk menjawab pertanyaan tersebut.
“Terima kasih telah merapikan buku-bukuku,” kata
seseorang di belakangku.
Secara reflek, aku menoleh.
“Jean,” aku menyapa.
“Baiklah akan kucoba,” kata Jean. “Tetapi, apa kau
mau sebentar saja untuk mampir kerumahku? Kita kerjakan bersama.”
“Kenapa tidak?” jawabku penuh semangat.
***
Sebenarnya rumah Jean selalu kulewati ketika
pulang. Bus yang kutumpangi juga berhenti tepat dirumahnya kerena Jean juga
menggunakan sarana transportasi yang sama. Hanya disebab rasa sungkan, aku
jarang bermain ke rumahnya. Bagiku, kediamannya tidak bisa disebut rumah
melainkan istana. Dua pilar kolosal menjulang di bagian depan dan istana itu
bisa dilihat dari kejauhan karena ketinggiannya yang kontras dibandingkan dengan
rumah-rumah tetangga.
“Oh ya, bagaimana kau tahu kalau aku juga ikut
lomba cerpen ini?” tanyaku.
“Sudah kuhitung berapa jumlah siswa di kelas kita dikurangi
anggota OSIS lalu dibagi setiap bidang lomba. Sederhana, bukan?”
Hari ini adalah pertama kalinya aku diajak ke
kamarnya. Seingatku, dua atau tiga kali aku sempat bermain ke rumahnya namun
hanya sekadar duduk atau bermain PS di ruang tamu. Aku menebak bahwa kecerdasan
Jean tersimpan di dalam kamarnya. Bagaimana tidak, dinding-dindingnya dipenuhi
rak buku. Ini seperti bukan kamar tetapi perpustakaan pribadi dengan jumlah
judul buku lebih banyak daripada jumlah judul buku di perpustakaan sekolah.
“Apa kau membaca seluruh buku ini?” tanyaku.
“Tidak. Aku hanya membaca buku-buku yang memberikan
pengetahuan baru serta melatih logika. Buku-buku seperti itu tidak banyak di
perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan umum. Namun ada 97% di sini.”
Itu artinya dia telah membaca hampir keseluruhan
buku-buku di sini. Sulit dipercaya. Bagiku, buku tidak lebih sebagai dongeng
pengantar tidur. Aku sering mengantuk setelah membaca dua sampai tiga halaman.
Siang itu, ibu Jean mengambilkan sepiring roti
kering yang super nikmat. Ya, ibunya sendiri yang turun tangan menjamuku
sebagai tamu—bukan pelayan-pelayannya. Ayah-ibunya Jean selalu ada ketika aku
ke sini. Kalau dibilang sibuk, mereka memiliki banyak aset yang tersebar di
berbagai kota. Tetapi, keduanya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah karena
hanya sesekali dan hanya beberapa jam saja memantau dari aset satu ke aset yang
lain. Selebihnya, mereka mempercayakan kepadatangan kanan.
Seperti rencana, kami menulis cerpen bersama. Kami
saling bertukar pikir dan Jean sering membenahi kesalahan-kesalahan pada
ceritaku.
“Kau tahu,” kata Jean, “aku sudah dua kali
mengikuti lomba serupa dalam lingkup sekolah. Di SMP-ku dulu dan tahun lalu
mewakili kelas kita. Dan aku didiskualifikasi.”
“Apa kau tahu penyebabnya?”
“Mereka menilai bahwa aku curang. Mereka bilang
bahwa karanganku terlalu bagus untuk anak seusiaku, mereka menuduh bahwa ada
orang lain yang membuatkannya.”
“Bagaimana bisa?” tanyaku penasaran.
“Entahlah. Biar ini yang terakhir kali aku
berpartisipasi di sekolahmu. Aku akan keluar setelah ini.”
“Hey...kenapa harus keluar? Bukankah tinggal
setahun lagi proses kita?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan pada para guru
yang sering berdebat satu sama lain hanya demi mempertimbangkan nilaiku. Aku
kasihan pada guru-guru BP yang terlalu banyak menghabiskan waktunya untukku
sehingga mengesampingkan siswa lain. Dan, yang jelas terlalu banyak beban untuk
para guru serta kawan-kawan selama aku berada di sekolah itu.”
“Jean, semua itu bisa dibicarakan baik-baik,” aku
memohon.
“Ayahku sebenarnya sudah menyaranku untuk pindah
sekolah sejak kali pertama aku bolos sekolah.Tetapi aku meminta waktu kala itu,
karena bagiku kau adalah sahabat pertama dan satu-satunya.” []
Last Words
Aku tak tahu apa yang seharusnya ditulis dan apa yang sesungguhnya ingin kutulis. Namun, ada begitu banyak hal yang tak sanggup dipendam dan memang sudah seharusnya tidak perlu apalagi terlalu untuk dipedulikan. Selebihnya, tidak untuk dibaca.
Kau tahu, kala burung-burung kembali pulang ke sarang dan jingga menyala di ujung sana barangkali mengingatkanmu akan sebongkah es yang pernah kau genggam. Sewujud mungil yang pada akhirnya menguap tanpa meninggalkan sisa. Hanya sedikit rasa dingin yang menusuk tulang namun hanya untuk sementara.
Dan malam, ketika semua yang kau inginkan telah kau dapatkan. Bahkan kau bisa dengan terbiasa untuk bercinta di mana dan bagaima pun yang kau suka, kau tak perlu lagi khawatir akan dingin serta kesunyian di luar sana. Tak perlu pula kau hiraukan tentang bagaimana kelelawar beserta para penghuni sunyi bertahan hidup tanpa pernah mengharap belas kasihan.
Dan pagi, begitu embun turun dan membasahi daun, cerita demi cerita baru terbuka untuk siapa saja. Akan selalu ada dan begitu banyak rasa bahagia yang bisa dibagi atau pun disimpan untuk seorang diri. Dan sebagaimana kau tahu, selebihnya memang tidak untuk dibaca.
Soliter
Photo taken Entropia Universe, Camp
Icarus-Planet Calypso
Mari sejenak kita renungkan bersama-sama, masihkah kata
“aku” jauh lebih berharga daripada kata “mereka”? Aku, kau ataupun dia yang
bermakna satu, masihkah menjadi prioritas hingga melegalkan untuk merebut
hak-hak ataupun tempat orang lain?
Aku, kau dan dia tidak akan menjadi “kita” mana kala
setiap satu masih saja memperdebatkan kedudukannya dan mengklaim lebih unggul
daripada suatu yang lain.
Pada dasarnya kita hidup di alam sosial, baik di dunia
nyata maupun di dunia maya. Kita memiliki hak-hak serta kewajiban yang sama
sesungguhnya sebagai masyarakat yang beradab, penduduk suatu negara yang sadar
akan aturan yang berlaku serta nilai-nilai norma yang ada. Dan sikap mau
mengantre adalah cerminan bangsa-bangsa bermartabat.
Pertanyaannya apakah mengantre benar-benar berat hingga
sering dijumpai di sekitar kita perihal main serobot aja. Parahnya lagi seperti
pada gambar di bawah ini. Coba amati baik-baik, seolah dia sedang menganut dua prinsip yang berbunyi: Pertama, dia tidak bisa disalahkan. Kedua, jika dia melakukan kesalahan maka kembali ke prinsip pertama.
Pemandangan emak semakin di depan dan menjadi pemandangan
umum di negeri ini, bukan berarti bisa dijadikan acuan untuk dilestarikan.
Perlu dicatat, dalam hidup kita memiliki kebebasan yang
terbatas pada kebebasan orang lain. Kita boleh melakukan apa pun, namun
dibatasi pada hak-hak orang lain yang tidak bisa diganggu gugat. Because
every soul have own life, for everyone, for every single one.
Dan karena aku, hanyalah aku. Aku yang satu berada di
antara mereka. Mengalah bukan berarti kalah. Memberi adalah cermin bahwa kita
kaya dan pantas menjadi untuk dikayakan. Dan menghormati serta menghargai orang
lain bukan berarti kita rendah, namun kita bermartabat.
Mari Budayakan Mengantre
Sumber Gambar: ImgStocks.com
Pada dasarnya menikah bukan semata urusan dua manusia
yang sedang dilanda cinta yang seolah dunia beserta isinya hanya milik mereka
sementara yang lain dianggap ngontrak, namun tentang bagaimana menikahkan
masing-masing anggota keluarga dengan setiap status sosial yang disandang.
Tentang bagaimana masing-masing wali yang sebelumnya bukan siapa-siapa bahkan
bisa jadi di antara mereka tidak pernah saling mengenal—harus mempunyai
pemikiran yang sama hingga anaknya menikah. Sesederhana itukah?
Harus diakui bahwa aku terlampau paranoid dan sudah
sepantasnya seseorang menghujat kalau pemikiranku itu kejauhan. Cukup jalani
aja dan pikirkan apa yang ada hari ini, beres. Maaf, dengan kerendahan hati aku
sampaikan, aku tidak bisa. Masalahnya adalah, sebuah tujuan atau visi yang
ingin diraih—kerap kali dijumpai jalan berliku dan disertai rintangan. Lantas
apa jadinya jika persoalan jangka panjang yang menyangkut urusan kedua belah
pihak dan menyangkut nama keluarga masing-masing—tidak dipikirkan secara matang,
bisa dibayangkan? Sekali lagi mohon maaf, aku tidak bisa terima kalau-kalau
keadaan nantinya memburuk yang akhirnya menyalahkan satu sama lain, “Kenapa
kamu tidak bisa gini tidak bisa gitu? Kenapa ngurus ini aja gak becus?”
Perlu digarisbawahi, dengan menikah maka hak kepemilikan
satu sama lain menjadi mutlak. Kebebasan bukan lagi hal yang bisa ditebus dan
satu sama lain harus siap menjadi budak untuk setiap waktu harus saling sedia
untuk menjadi pemuas dan menuruti ini itu yang kadang tidak peduli atas
konsekuensi apa yang menanti. Batas-batas privasi bukan lagi hal yang bisa
ditoleransi. Dan status lajang sudah tiada lagi dan mustahil untuk kembali
didapatkan. Sebab status yang disandang usai menikah adalah menikah atau duda
maupun janda. Apakah sama status janda dan duda itu setara dengan status
lajang? Atau kasarnya, apakah harga barang bekas itu sama dengan barang baru?
Memang ada berbagai keindahan serta kenikmatan yang hanya
ada pada pernikahan dan tidak ditemukan di status lajang. Sampai kapan pun
tidak akan pernah. Tetapi, mungkinkah dalam 24 jam sehari, tujuh hari dalam
seminggu dan bertahun-tahun mendatang bersama pasangan hanya diisi oleh
kebahagiaan semata? Yang jelas, jika satu atau keduanya gagal menjalankan hak
dan kewajibannya, keadaanya akan memburuk. Terlepas siap atau tidak siap. Ini
bukan lagi survival secara individual, tetapi bagaimana bisa menyatukan
langkah dan mampu untuk senantiasa bersikap “saling mengimbangi”.
Dan lagi, apakah angka perceraian bisa lebih kecil
daripada angka peernikahan tiap tahunnya? Dan bisakah nominal rupiah yang
dihabiskan untuk urusan perceraian bisa lebih kecil daripada prosesi
pernikahan, lengkap beserta seluruh biaya yang dihabiskan baik sebelum atau
sesudah pesta?
Selebihnya, itulah alasan kenapa saya lebih menganggap
rumit untuk hal-hal yang sebagian orang menganggap remeh. Memang selalu ada
rasa iri terkait nuansa romantis ataupun kemesraan yang biasa saja di umbar di
mana-mana. Dan menurutku itu normal. Hingga akhirnya, satu-satunya pertanyaan
yang belum terjawab, haruskah pernikahan itu disegerakan?
Semua kembali pada persoal personal, seberapa matang
kesiapan yang dimiliki dan yang pasti, setiap pilihan memiliki konsekuensi yang
tidak bisa dihindari.
Pernikahan Haruskah Disegerakan?
Apa sebutan kawanan yang hidup senang dan merasa aman di dalam dinding?
Menghindari setiap risiko yang mungkin ada, menutup mata di setiap peluang yang
di sajikan dunia luar dan satu-satunya hal yang dipedulikan adalah kepastian.
Sungguh tiada perlu disalahkan jikalau tetap tinggal. Juga
bukan masalah ketika setiap jiwa yang terbiasa hidup di dalam dinding memilih untuk
terus bertahan dan menahan pilihan yang ditentukan. Mengerjakan apa yang mereka
inginkan dan meyakini bahwa kehidupan normal itu telah dialami dan akan
selamanya di jalani.
Sorry, I am out. Namun bukan berarti lari dari kenyataan akan
tetapi, di sinilah kenyataan yang sesungguhnya. Ancaman demi ancaman bisa
dengan leluasa disaksikan. Juga rintangan yang siap menghadang. Biar begitu,
aku lebih memiliki waktu untuk persiapan utuh kalau-kalau dinding ini runtuh
dan meluluhlantakkan setiap keping harapan yang diagung-agungkan.
Kehidupan normal adalah kehidupan yang dihadapkan dengan
konflik dan tantangan. Selebihnya hanya kawanan abnormal yang hidup tanpa
masalah dan rasa salah.
Maaf, aku harus keluar. Memang tidak ada jaminan untuk
kehidupan mapan di luar sana. Tiada pula kepastian juga yang bisa
diagung-agungkan. Namun ini adalah pilihan dengan kesadaran penuh untuk
menerima segala konsekuensi. Karena aku paham betul bahwa satu-satunya
kepastian adalah ketidakpastian.
Jadi, selamat tinggal. Maaf saja, waktuku terlalu mahal
untuk diperjualbelikan. Dan bukan tipeku untuk menunduk pada hal-hal yang
berseberangan dengan keutuhan paradigmaku. Inilah aku dengan sayap kebebasan.
Catatan: Diadopsi dari Shingeki No Kyojin Atack on Titan
Sayap Kebebasan
Sehari sebelum prosesi wisuda dimulai, seorang penjaga
warung langganan saya bertanya, “Mas, besok hari paling bersejarah ya?”
Saya terdiam sejenak. Mencari arti, makna yang tersembunyi
serta hal-hal yang barangkali ada dari prosesi wisuda.
“Biasa saja, Mas,” kata saya pada akhirnya sebagai bentuk
nihil atas kesan ataupun pesan yang tersimpan di sana. Dan tiada teristimewa.
Menurut saya, wisuda adalah awal ketika buku-buku tiada
lagi terbaca. Sebuah masa kala bukan lagi hal mudah untuk mengumpulkan massa
untuk memecahkan masalah pada setiap persoalan yang tak terjawab di bangku
kuliah. Tentang rutinitas diskusi sebagai salah satu bentuk syukur atas fungsi
akal budi. Di lain sisi ada masalah tersendiri, terkait bagaimana keadaan
mahasiswa kupu-kupu yang hanya mengisi hari-harinya dengan kuliah
pulang-kuliah pulang. Atau mereka yang bekerja sebagai
copaster, mengisi seluruh isi diksi dalam presentasi dengan ctrl A, ctrl C dan
ctrl V. Juga mereka-mereka yang hanya memanfaatkan informasi-informasi
dari internet sebagai sumber referensi.
Satu hal yang tak terbantahkan bahwa wisuda secara pasti telah
menambah beban pemerintah sebab lonjakan angka pengangguran yang signifikan.
Ada kegalauan di sana perihal pekerjaan. Juga butuh adaptasi berat di mana-mana
pada masa transisi seusai kuliah. Tentang realita yang buas, tentang kondisi
sosial yang bukan lagi bisa dijawab dengan teori di atas kertas. It’s
survival for everyone, for every singgle one. Sewujud korelasi terbalik
antara harapan dan kenyataan.
Hingga akhirnya, semua kembali pada diri sendiri terkait
kapasitas apa yang dimiliki serta keahlian apa yang telah dipahami. Ini adalah
ranah tindakan. Tahap aplikasi dari visi atau impian yang ingin dikejar dan
digenggang. Sebuah proses jangka panjang yang tidak bisa instan. Semua tidak
cukup dengan sebatas kuantitas angka yang diperoleh dari akumulasi tugas-tugas.
Jadi, di manakah posisi Anda saat ini? Saya tidak tahu
apakah Anda sedang mencari kerja atau sedang akan melanjutkan studi ke jenjang
yang lebih tinggi. Satu hal yang saya tahu, setiap dari diri Anda memiliki
potensi yang luar biasa. Terlepas Anda memanfaatkannya atau tidak.
Yang jelas, semua boleh berhenti kuliah. Juga tidak
begitu masalah jika tidak diterima dalam lapangan pekerjaan. Akan tetapi, semua
tidak boleh berhenti belajar. Tidak ada yang boleh menjadi pengangguran. Karena
setiap dari kita harus memiliki kesibukan tersendiri meski tidak bekerja. Pada dasarnya
masih begitu banyak peluang usaha yang tak pernah ditawarkan di lapangan
pekerjaan.
Apa Sesungguhnya Arti Wisuda
Sumber gambar: Imgrum.net |
Keindahan serta puncak kenikmatan
abadi untuk setiap partikel--berada. Keindahan, kecantikan serta
kepuasan yang tak mengenal jemu--menjamu. Sebuah tempat terindah dengan
hal-hal yang tak pernah ada di dunia--dinantikan. Pertanyaannya, adakah
yang tidak menginginkan suatu tempat yang disebut surga?
Akan
tetapi, sebuah dimensi ruang, betapa pun mahaindahnya hingga tak mampu
terlukis serta tertuang detailnya dalam aksara--masih sebatas tempat.
Hanyalah suatu ciptaan. Surga dan neraka
hanya ciptaan. Suatu hal yang kadang melenakan untuk diprioritaskan
antara perjumpaan dengan pencipta dan mengharap kridhaan ataukah hanya
menginginkan suatu wilayah yang disebut surga.
Disadari atau
tidak mengharapkan ciptaan dan mengharapkan keeidhaan pencipta memiliki
perbedaan mendasar. Barangkali, orang awam mengklaim kepemilikan serta
hak untuk tinggal di surga diorientasikan dengan pelabelan Islam dan
pelabelan non islam. Hal ini menuai perdebatan sengit hingga memecah
berberapa golongan dalam Islam sendiri. Permasalahan sederhana,
perebutan hak atas tinggal di surga yang tidak lain seperti sebuah
analogi antara tunawisma yang memperebutkan sepetak tanah dengan tidak
mempedulikan kewenangan mutlak dari pemilik tanah yang sesungguhnya.
Memang klise untuk mengasumsikan bahwa perebutan hak untuk tinggal di
surga namun meniadakan mahabijak Tuhan atas kebijaksanaan absolut untuk
menetapkan mana yang dipilih untuk diridhai atau tidak.