Archive for August 2018



Shingeki no Kyojin Season 3

Diakui, judul di atas memang ngeri. Namun alur cerita kenapa Eren harus memakan ayah kandungnya sendiri jauh lebih mengerikan.

Kisahnya sangat panjang terkait bagaimana Grisha Yaeger memiliki dua kekuatan besar titan shifter yakni rogue titan dari orang yang menyelamatkan hidupnya Eren Kruger, dan founding titan dari Frieda Reiss. Namun hal terpenting yang ingin disampaikan di sini bahwa konsekuensi memiliki kekuatan titan shifter—menanggung batas umur maksimum tiga belas tahun. Dan harus sudah diwariskan sebelum jangka usia habis. Atau jika tidak diwariskan, semua akan seperti air yang menguap dan tak bersisa.

Biar begitu, cara mewariskannya tidak main-main. Satu-satunya cara untuk mewariskan kekuatan titan shifter kepada generasi penerusnya, si pewaris harus menjadi titan dan memakan orang tersebut. Itulah kenapa Grisha Yaeger menyuntikkan cairan titan ke tubuh Eren. Lalu, Eren yang menjadi titan tanpa sadar telah memakan ayahnya sendiri. Ia menjadi orang yang kuat dengan menghapus sosok sang ayah.

Terus terang saja menghapus bayang-bayang ayah dalam kehidupan kita bukanlah satire. Seorang anak hanya akan menjadi hebat manakala tidak lagi bergantung pada ayahnya atau dalam hal ini saya lebih suka menuliskannya dengan ‘menghapus sosok sang ayah’. Entah itu harta, status sosial yang disandang dan hal-hal lain dari sang ayah.

Maksudnya begini, memang kenyataannya sosok ayah akan mengorbankan apa pun tanpa terkecuali nyawanya sendiri demi mengupayakan yang terbaik untuk anaknya. Ini hal yang wajar meski sebagian dari kita tidak menyadarinya. Di sisi lain, selama si anak terus bergantung pada ayahnya, ia tidak pernah menjadi siapa-siapa.

Misalnya, ayah saya kan seorang raja, kenapa saya harus belajar berpedang? Atau, ayah saya kan seorang pengusaha kaya raya, kenapa saya harus bekerja? Atau, ayah saya kan ilmuan hebat, kenapa saya harus membaca buku? Dan sebagainya.

Sebagian dari kita mungkin sepakat bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tapi satu hal yang barangkali dilupakan oleh kita semua bahwa, buah yang jatuh tidak selalu dalam keadaan baik. Adakalanya dimakan ulat, jatuh sebelum matang, atau bisa jadi terkontaminasi hingga membusuk. Ditambah lagi, biji yang dikandung dalam buah belum tentu bisa tumbuh dengan baik karena berbagai faktor alam. Dan sekali pun mampu tumbuh bersemi belum tentu sehebat generasi pendahulunya.

Saya harap Anda semua meragukan ini semua. Karena jika kita bisa meluangkan waktu sejenak untuk melihat area persawahan dengan ragam tanaman yang ada di sana, kita bisa temukan jawabannya. Di sana, hanya benih terbaik yang ditanam. Namun tiada jaminan bahwa hasil panennya bagus. Tanaman jagung misalnya, di usia prima hanya menghasilkan jagung putih dan tidak bisa dibanggakan hasil panennya, bukanlah hal baru.

Jadi, apa poin terpenting dalam pembahasan kali ini? Saya rasa tidak ada. Semua kembali pada pemahaman masing-masing. Membanggakan garis keturunan dan memujanya adalah hal biasa dan tidak ada yang salah.

Yang jelas, kehidupan ini Anda sendiri yang menjalani. Tidak ada peran pengganti. Setiap tetes air mata, keringat bahkan darah sekali pun yang Anda keluarkan, tidak ada rekayasa karena ini semua bukan drama.

Filosofi Grisha Yaeger yang Dimakan Anaknya Sendiri


Shingeki no Kyojin Attack on Titan Season 2

“Setiap orang setidaknya memiliki satu atau dua kesalahan! Jika kau mencoba memungkiri sedikit saja, maka tidaklah buruk,” ucap Ymir meyakinkan Historia, gadis polos berambut pirang yang akrab disapa Christa. Ymir berencana mengikuti Reiner Braun dan Bertolt Hoover meski ia tahu bahwa keduanya telah meruntuhkan dinding pertahan. Kedamaian serta kehidupan tentram dalam dinding yang telah berlangsung selama seratus tahun akhirnya berubah menjadi kekacauan dan pertumpahan darah dalam sekejap.

Reiner dan Bertolt bersalah itu adalah fakta. Keduanya melakukannya karena suka atau terpaksa, tetap saja tidak akan mengubah realita. Sebagian membenci dan sebagian lagi memuji sementara sisanya menganggap lumrah pada peritiwa yang mereka perbuat. Inilah benang merah yang ingin saya bahas dalam tulisan singkat ini. Penilaian.

Dalam keseharian kita, barangkali kita temui pihak kepolisian menembak mati sekawanan perampok atau pelaku tindak kriminal berbahaya lainnya. Tidak diragukan jika sebagian memuji mereka karena prestasi gemilangnya. Di sisi lain, apa yang mereka lakukan adalah menghilangkan nyawa manusia. Seburuk apa pun pelaku kriminal, akan tetap ada luka mendalam untuk sanak keluarga yang ditinggalkan. Mereka melakukannya karena suka atau terpaksa, tetap saja dinilai bersalah. Dan sekali pun di dunia ini benar-benar bisa bersih tanpa tindak kejahatan, konsekuensinya tugas mereka tidak lebih dari pengatur lalu lintas dan sedikti membantu persoalan hidup bermasyarakat. Itu pun jikalau memang dibutuhkan. Kalau pada akhirnya tidak ada yang perlu diatur dan dibantu, akan beda ceritanya.

Pada kasus lain ketika saya singgung perihal mantan, barangkali yang terlintas dalam pikiran merupakan sosok yang pernah hadir dalam kehidupan kita. Sewujud yang pernah tinggal dalam ruang hati dan menemani dalam hari-hari hingga ia hilang meninggalkan atau kita tinggalkan. Lalu kita mencaci dirinya dan memuju sosok kekasih baru. Pertanyaanya, seberapa abnormalkah tindakan kita yang membandingkan satu sama lain hingga memuji siapa yang dipilih dan mencaci dia yang tidak dipilih?

Jujur saja, latar belakang kenapa tulisan ini saya kerjakan karena ada rasa muak, serasa ingin muntah melihat beranda yang dipenuhi dengan pernyataan memuji kubu A dan mencaci kubu B, atau pun sebaliknya—mengingat kedua kubu tersebut akan berduel merebutkan kursi nomor satu di negeri ini. Di satu sisi diperlakukan layaknya seorang mantan yang pernah kita saksikan rutinitasnya hingga keburukan serta kebaikannya bisa dilihat dari permukaan sementara sisi satunya layaknya kekasih baru yang siap didamba dan dipuji. Sebaliknya, pihak satu seolah menganggap lawannya adalah pendatang yang harus dihentikan agar singgasana lama tidak bergeser. Apakah dengan hal semacam ini kehidupan kita harus dijalani? Benarkah tidak masalah untuk menganggap ini semua baik-baik saja?

Rasa suka adalah selera. Tidak ada hak memaksa untuk suka atau tidak. Tidak ada yang salah dengan memihak kubu tertentu karena menilai baik dan memungkiri satu-dua kesalahan yang pernah diperbuat. Yang jadi masalah adalah ketika mengumbar ajaran kebencian yang membandingkan satu sama lain, lalu menjelek-jelekkan pihak lawan seolah ia harusnya tidak pernah dilahirkan. Ladies and gentlemen, there’s nothing perfect person in this f*** world.

Come on guys, we are ordinary human.

Penilaian

Sudah selesai dan tak perlu lagi kau habiskan energimu dengan sia-sia. Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar berubah. Dan itu bukanlah masalah.

Kau memang tidak memiliki apa yang dimiliki orang lain namun sebaliknya,kau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Dan kau bisa melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh dirimu seorang. Itulah keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang mencakup bahwa setiap yang dimiliki atau dititipi--selalu berwujud materi atau subtansi berbeda.

Ingatlah akan janjimu yang kau ucapkan kepada dirimu sendiri bahwa apa pun yang kau lakukan ataupun kau perjuangkan hanyalah untuk dirimu seorang. Jauhilah perbudakan atas dasar apa pun, tanpa terkecuali atas nama cinta. Pahami janjimu sendiri kala itu.

Semua yang berlalu hingga saat ini telah berakhir. Dan inilah babak baru dalam hidupmu. Kau boleh kehilangan sesuatu, bahkan meski sangat berharga dari dirimu. Entah kasih atau apapun yang bisa saja hilang darimu. Namun ingatlah bahwa satu hal yang tidak boleh hilang adalah dirimu sendiri. Kemampuan bertahanmu yang mengesankan, kemampuan berpikirmu dan singkat kata, karakter dirimu. Karena di situlah terletak esensi atau hakikat segala sesuatu.

Lihatlah sekelilingmu, bagaimana daun-daun yang tumbuh dengan serat yang khas, bagaimana burung-burung terbang dengan sayap kebebasannya dan lihatlah bagaimana senja yang membawa pesan untuk setiap hal yang dikenang. Karena kenangan bukanlah hal yang harus ditangisi namun sebuah saksi bahwa hidupmu begitu indah dan akan selalu indah hingga udara terakhir kau hirup.
.
Diakui, dunia memang kejam. Penuh kebohongan serta hal-hal yang kian memberimu peluang untuk cidera. Namun dunia juga memberi kesempatan dan peluang untuk berbahagia.

Terakhir, ucapkan selamat jalan untuk sang mantan dan sampaikan terima kasih padanya bahwa hidup yang pernah kalian jalani adalah kisah yang sangat romantis dan indah. Dan akan jauh lebih romantis dan harmonis lagi ketika kalian hidup dengan pasangan masing-masing.

Perpisahan adalah awal yang baru. Jangan lupa bahagia.

Move On

"I think we all want the same thing....


To do something great, become rich and famous, marry our sweetheart and have cute little kids.


But most of us never realize those dreams and as the years pass, they drift away from our mind one by one like leaves in autumn.


We think they crumble away and disappear... but in truth, they're always there, only scattered away by the wind of fate.


And fate, as we all know, is a fikle thing. Sometimes she drops one of those leaves in our path just to see what we'd do.


Of course, we're bound to pick it up...,"


Kata-kata ini saya temukan dalam sebuah game Front Mission 4 dan menurut saya menarik. Saya juga sepakat terkait pesan-pesan yang terkesan sederhana namun begitu mendalam.


I agree that everyone wanna be rich and famous, have little cute kids and so on. Every singgle one. That's why we all make competition each other. That's truth.


Akan tetapi, dunia memang kejam. Kita bisa mendapatkan sesuatu dengan kesungguhan kita sementara yang lain hanya mencaci. Bahkan tak sedikit yang turut menghalangi dalam setiap pencapaian kita. Pertanyaannya adalah kenapa mereka bersedia bersusah menggagalkan kemenangan kita sementara dahulunya mereka tak peduli ketika kita bersusah dalam setiap proses?


Sebagaiman dedaunan musim gugur, impian demi impian kerap kali kandas dengan beribu alasan. Hanya sebagian orang yang membutuhkan satu alasan untuk mewujudkannya. Dan itu tidak mudah. Ada harga yang harus dibayar dengan tenaga, keringat, air mata bahkan dengan darah--untuk meniti prosesnya. Hingga pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa kita harus menghiraukan perkataan orang lain yang jelas-jelas mereka tidak akan bisa paham tentang impian besar yang kita bangun dan realisasikan?


Di tangan ini memang penuh keterbatasan. Namun, melalui tangan ini, ada banyak hal yang bisa kita genggam dan perjuangkan sesuatu yang belum tentu orang lain mampu capai.

Apakah Kita Memikirkan Hal yang Sama?



theodysseyonline.com

“Apa kau benar-benar tidak ingin mencobanya?” tanyaku.

“Mungkin akan menjadi hal luar biasa ketika orang lain melakukannya. Ya, hanya sekadar melakukannya. Namun tidak untukku. Bahkan jika aku mampu keluar sebagai pemenang, tak seorang pun akan peduli,” jawab Jean.

Hening. Aku mengaduk-aduk bongkahan es dalam gelas sekaligus mengaduk isi pikiranku. Mencoba mencerna kata demi kata dari apa yang ia sampaikan barusan.
Jean meneguk susu terakhir di gelasnya.

“Namun, akan kupertimbangkan,” kata Jean. “Barangkali bisa jadi kesan terakhirku di sini.”

“Apa maksudmu?”

Jean berlalu meninggalkan kantin sekolah. Menyisakan pertanyaan demi pertanyaan yang tidak bisa kupahami. Yah, begitulah Jean. Dia ke kantin hanya untuk sekadar minum susu atau kopi. Kalau tidak begitu, paling-paling cuma ditambah roti. Katanya, “Aku butuh asupan yang cepat dicerna atau aku akan tidur di kelas.” Dia selalu pergi dahulu ketika aku masih menunggu sarapan pagiku yang masih disiapkan penjaga kantin.

Setelah dari kantin, tujuan Jean selanjutnya sulit ditebak. Bahkan untuk teman sebangku sepertiku. Aku hanya bisa memastikan kalau dia tidak berada di kelas, berarti dia hanya akan muncul setengah jam setelah bel pulang berbunyi. Kecuali jika dia diciduk SATPOL PP atau guru BP di warnet depan sekolah. Warnet itu sudah menjadi lokasi yang paling sering dikunjung. Pernah dia pulang ke rumah dengan menggunakan bus, meninggalkan alat tulis beserta perlengkapan sekolah yang berada dalam tas. Sejauh itulah yang aku tahu. .

Kebiasaan Jean membolos bermula sejak semester genap ketika kelas X. Tepatnya setahun yang lalu. Sebenarnya jumlah bolosnya tidak seberapa tetapi absen atau ketidakhadirannyalah yang terlampau sering. Tadi sebelum ke kantin, dia menghabiskan satu jam pelajaran di ruang BP. Ketika aku menanyakannya, dia hanya menjawab, “Seperti biasa. Tidak penting.”

Aku masih tidak paham apa yang dia pikirkan sehingga menjawab demikian. Padahal, apa saja yang disampaikan guru BP selalu mengandung pesan moral serta hal penting lainnya. Itu keyakinanku.
***

Usai pelajaran berakhir, kelas kembali gaduh. Tidak lain karena lomba antar kelas yang diadakan sekali tiap tahunnya. Kemarin, keputusan tentang siapa yang maju untuk mewakili lomba cerpen adalah aku dan Jean. Jika pada akhirnya Jean tetap tidak mau, satu perwakilan saja dianggap cukup. Perlu diketuhi, aku maju mewakili lomba ini bukan karena aku bisa menulis cerpen, namun karena hanya akulah yang belum mendapatkanjatah partisipasi lomba sementara yang lainnya sibuk sebagai panitia karena tergabung sebagai OSIS. Untuk Jean, dia dianggap berpengalaman karena pernah ikut tahun lalu.

Hari ini hasil rundingan teman sekelas hanya memastikan bahwa nama-nama yang telah ditetapkan kemarin tidak berubah. Jadi, rapat kelas hari iniberjalan lebih cepat dari kemarin sehingga aku bisa pulang tidak terlalu sore. Dan semua diputuskan tanpa kehadiran Jean.
Sebelum pulang, aku merapikan buku-buku Jean lalu memasukkannya ke tasmiliknya yang tertinggal di kelas. Bukan apa-apa, aku hanya merasa kasihan. Sebenarnya dia adalah siswa yang cerdas. Bahkan bisa dibilang genius. Hampir di setiap ulangan, kesalahan terbanyak hanya tiga. Selebihnya hampir tidak ada kesalahan. Dan itu untuk setiap pelajaran. Sayangnya, reputasinya buruk. Baik di hadapan guru ataupun di hadapan teman-teman.

Dua minggu lalu, ketika kelompok enam yang terdiri dari lima siswa melaksanakan persentasi di kelas, salah seorang dari mereka yang tidak perlu aku sebut namanya—membatasi pertanyaan. Katanya, “Semua boleh bertanya kecuali Jean.”
Dalam batasan itu, sebenarnya hanya ada dua kemungkinan. Pertama, karena tidak suka dengan siswa yang suka membolos. Kedua, karena setiap pertanyaan Jean sulit dijawab. Alasan terakhir ini yang sering terjadi ketika ia bertanya kepada guru yang mengajar. Biasanya jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan pertanyaan, kadang juga sang guru meminta waktu dua hari untuk menjawab pertanyaan tersebut.

“Terima kasih telah merapikan buku-bukuku,” kata seseorang di belakangku.
Secara reflek, aku menoleh.

“Jean,” aku menyapa.

“Baiklah akan kucoba,” kata Jean. “Tetapi, apa kau mau sebentar saja untuk mampir kerumahku? Kita kerjakan bersama.”

“Kenapa tidak?” jawabku penuh semangat.
***

Sebenarnya rumah Jean selalu kulewati ketika pulang. Bus yang kutumpangi juga berhenti tepat dirumahnya kerena Jean juga menggunakan sarana transportasi yang sama. Hanya disebab rasa sungkan, aku jarang bermain ke rumahnya. Bagiku, kediamannya tidak bisa disebut rumah melainkan istana. Dua pilar kolosal menjulang di bagian depan dan istana itu bisa dilihat dari kejauhan karena ketinggiannya yang kontras dibandingkan dengan rumah-rumah tetangga.

“Oh ya, bagaimana kau tahu kalau aku juga ikut lomba cerpen ini?” tanyaku.

“Sudah kuhitung berapa jumlah siswa di kelas kita dikurangi anggota OSIS lalu dibagi setiap bidang lomba. Sederhana, bukan?”

Hari ini adalah pertama kalinya aku diajak ke kamarnya. Seingatku, dua atau tiga kali aku sempat bermain ke rumahnya namun hanya sekadar duduk atau bermain PS di ruang tamu. Aku menebak bahwa kecerdasan Jean tersimpan di dalam kamarnya. Bagaimana tidak, dinding-dindingnya dipenuhi rak buku. Ini seperti bukan kamar tetapi perpustakaan pribadi dengan jumlah judul buku lebih banyak daripada jumlah judul buku di perpustakaan sekolah.

“Apa kau membaca seluruh buku ini?” tanyaku.

“Tidak. Aku hanya membaca buku-buku yang memberikan pengetahuan baru serta melatih logika. Buku-buku seperti itu tidak banyak di perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan umum. Namun ada 97% di sini.”

Itu artinya dia telah membaca hampir keseluruhan buku-buku di sini. Sulit dipercaya. Bagiku, buku tidak lebih sebagai dongeng pengantar tidur. Aku sering mengantuk setelah membaca dua sampai tiga halaman.

Siang itu, ibu Jean mengambilkan sepiring roti kering yang super nikmat. Ya, ibunya sendiri yang turun tangan menjamuku sebagai tamu—bukan pelayan-pelayannya. Ayah-ibunya Jean selalu ada ketika aku ke sini. Kalau dibilang sibuk, mereka memiliki banyak aset yang tersebar di berbagai kota. Tetapi, keduanya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah karena hanya sesekali dan hanya beberapa jam saja memantau dari aset satu ke aset yang lain. Selebihnya, mereka mempercayakan kepadatangan kanan.

Seperti rencana, kami menulis cerpen bersama. Kami saling bertukar pikir dan Jean sering membenahi kesalahan-kesalahan pada ceritaku.

“Kau tahu,” kata Jean, “aku sudah dua kali mengikuti lomba serupa dalam lingkup sekolah. Di SMP-ku dulu dan tahun lalu mewakili kelas kita. Dan aku didiskualifikasi.”

“Apa kau tahu penyebabnya?”

“Mereka menilai bahwa aku curang. Mereka bilang bahwa karanganku terlalu bagus untuk anak seusiaku, mereka menuduh bahwa ada orang lain yang membuatkannya.”

“Bagaimana bisa?” tanyaku penasaran.

“Entahlah. Biar ini yang terakhir kali aku berpartisipasi di sekolahmu. Aku akan keluar setelah ini.”

“Hey...kenapa harus keluar? Bukankah tinggal setahun lagi proses kita?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan pada para guru yang sering berdebat satu sama lain hanya demi mempertimbangkan nilaiku. Aku kasihan pada guru-guru BP yang terlalu banyak menghabiskan waktunya untukku sehingga mengesampingkan siswa lain. Dan, yang jelas terlalu banyak beban untuk para guru serta kawan-kawan selama aku berada di sekolah itu.”

“Jean, semua itu bisa dibicarakan baik-baik,” aku memohon.

“Ayahku sebenarnya sudah menyaranku untuk pindah sekolah sejak kali pertama aku bolos sekolah.Tetapi aku meminta waktu kala itu, karena bagiku kau adalah sahabat pertama dan satu-satunya.” []

Last Words

- Copyright © Aksara Senja Embara - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -