Archive for September 2017


Photo taken Entropia Universe, Camp Icarus-Planet Calypso

Mari sejenak kita renungkan bersama-sama, masihkah kata “aku” jauh lebih berharga daripada kata “mereka”? Aku, kau ataupun dia yang bermakna satu, masihkah menjadi prioritas hingga melegalkan untuk merebut hak-hak ataupun tempat orang lain?

Aku, kau dan dia tidak akan menjadi “kita” mana kala setiap satu masih saja memperdebatkan kedudukannya dan mengklaim lebih unggul daripada suatu yang lain.

Pada dasarnya kita hidup di alam sosial, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kita memiliki hak-hak serta kewajiban yang sama sesungguhnya sebagai masyarakat yang beradab, penduduk suatu negara yang sadar akan aturan yang berlaku serta nilai-nilai norma yang ada. Dan sikap mau mengantre adalah cerminan bangsa-bangsa bermartabat.

Pertanyaannya apakah mengantre benar-benar berat hingga sering dijumpai di sekitar kita perihal main serobot aja. Parahnya lagi seperti pada gambar di bawah ini. Coba amati baik-baik, seolah dia sedang menganut dua prinsip yang berbunyi: Pertama, dia tidak bisa disalahkan. Kedua, jika dia melakukan kesalahan maka kembali ke prinsip pertama.

Pemandangan emak semakin di depan dan menjadi pemandangan umum di negeri ini, bukan berarti bisa dijadikan acuan untuk dilestarikan.

Perlu dicatat, dalam hidup kita memiliki kebebasan yang terbatas pada kebebasan orang lain. Kita boleh melakukan apa pun, namun dibatasi pada hak-hak orang lain yang tidak bisa diganggu gugat. Because every soul have own life, for everyone, for every single one.


Dan karena aku, hanyalah aku. Aku yang satu berada di antara mereka. Mengalah bukan berarti kalah. Memberi adalah cermin bahwa kita kaya dan pantas menjadi untuk dikayakan. Dan menghormati serta menghargai orang lain bukan berarti kita rendah, namun kita bermartabat.

Mari Budayakan Mengantre


Sumber Gambar: ImgStocks.com

Entah telah berapa juta kali dipertanyakan perihal kapan pernikahan digelar dan lusinan undangan disebar. Memang pernikahan bukanlah hal berat. Bahkan teramat sangat sederhana. Cukup ada ikrar suci di depan para saksi dan dihadiri wali, maka pernikahan telah usai begitu mahar dibayar tunai. Akan tetapi permasalahan mendasar terletak sebelum dan sesudah prosesi resepsi.

Pada dasarnya menikah bukan semata urusan dua manusia yang sedang dilanda cinta yang seolah dunia beserta isinya hanya milik mereka sementara yang lain dianggap ngontrak, namun tentang bagaimana menikahkan masing-masing anggota keluarga dengan setiap status sosial yang disandang. Tentang bagaimana masing-masing wali yang sebelumnya bukan siapa-siapa bahkan bisa jadi di antara mereka tidak pernah saling mengenal—harus mempunyai pemikiran yang sama hingga anaknya menikah. Sesederhana itukah?

Harus diakui bahwa aku terlampau paranoid dan sudah sepantasnya seseorang menghujat kalau pemikiranku itu kejauhan. Cukup jalani aja dan pikirkan apa yang ada hari ini, beres. Maaf, dengan kerendahan hati aku sampaikan, aku tidak bisa. Masalahnya adalah, sebuah tujuan atau visi yang ingin diraih—kerap kali dijumpai jalan berliku dan disertai rintangan. Lantas apa jadinya jika persoalan jangka panjang yang menyangkut urusan kedua belah pihak dan menyangkut nama keluarga masing-masing—tidak dipikirkan secara matang, bisa dibayangkan? Sekali lagi mohon maaf, aku tidak bisa terima kalau-kalau keadaan nantinya memburuk yang akhirnya menyalahkan satu sama lain, “Kenapa kamu tidak bisa gini tidak bisa gitu? Kenapa ngurus ini aja gak becus?”

Perlu digarisbawahi, dengan menikah maka hak kepemilikan satu sama lain menjadi mutlak. Kebebasan bukan lagi hal yang bisa ditebus dan satu sama lain harus siap menjadi budak untuk setiap waktu harus saling sedia untuk menjadi pemuas dan menuruti ini itu yang kadang tidak peduli atas konsekuensi apa yang menanti. Batas-batas privasi bukan lagi hal yang bisa ditoleransi. Dan status lajang sudah tiada lagi dan mustahil untuk kembali didapatkan. Sebab status yang disandang usai menikah adalah menikah atau duda maupun janda. Apakah sama status janda dan duda itu setara dengan status lajang? Atau kasarnya, apakah harga barang bekas itu sama dengan barang baru?

Memang ada berbagai keindahan serta kenikmatan yang hanya ada pada pernikahan dan tidak ditemukan di status lajang. Sampai kapan pun tidak akan pernah. Tetapi, mungkinkah dalam 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu dan bertahun-tahun mendatang bersama pasangan hanya diisi oleh kebahagiaan semata? Yang jelas, jika satu atau keduanya gagal menjalankan hak dan kewajibannya, keadaanya akan memburuk. Terlepas siap atau tidak siap. Ini bukan lagi survival secara individual, tetapi bagaimana bisa menyatukan langkah dan mampu untuk senantiasa bersikap “saling mengimbangi”.

Dan lagi, apakah angka perceraian bisa lebih kecil daripada angka peernikahan tiap tahunnya? Dan bisakah nominal rupiah yang dihabiskan untuk urusan perceraian bisa lebih kecil daripada prosesi pernikahan, lengkap beserta seluruh biaya yang dihabiskan baik sebelum atau sesudah pesta?

Selebihnya, itulah alasan kenapa saya lebih menganggap rumit untuk hal-hal yang sebagian orang menganggap remeh. Memang selalu ada rasa iri terkait nuansa romantis ataupun kemesraan yang biasa saja di umbar di mana-mana. Dan menurutku itu normal. Hingga akhirnya, satu-satunya pertanyaan yang belum terjawab, haruskah pernikahan itu disegerakan?


Semua kembali pada persoal personal, seberapa matang kesiapan yang dimiliki dan yang pasti, setiap pilihan memiliki konsekuensi yang tidak bisa dihindari.

Pernikahan Haruskah Disegerakan?


Apa sebutan kawanan yang hidup senang dan merasa aman di dalam dinding? Menghindari setiap risiko yang mungkin ada, menutup mata di setiap peluang yang di sajikan dunia luar dan satu-satunya hal yang dipedulikan adalah kepastian.

Sungguh tiada perlu disalahkan jikalau tetap tinggal. Juga bukan masalah ketika setiap jiwa yang terbiasa hidup di dalam dinding memilih untuk terus bertahan dan menahan pilihan yang ditentukan. Mengerjakan apa yang mereka inginkan dan meyakini bahwa kehidupan normal itu telah dialami dan akan selamanya di jalani.

Sorry, I am out. Namun bukan berarti lari dari kenyataan akan tetapi, di sinilah kenyataan yang sesungguhnya. Ancaman demi ancaman bisa dengan leluasa disaksikan. Juga rintangan yang siap menghadang. Biar begitu, aku lebih memiliki waktu untuk persiapan utuh kalau-kalau dinding ini runtuh dan meluluhlantakkan setiap keping harapan yang diagung-agungkan.

Kehidupan normal adalah kehidupan yang dihadapkan dengan konflik dan tantangan. Selebihnya hanya kawanan abnormal yang hidup tanpa masalah dan rasa salah.

Maaf, aku harus keluar. Memang tidak ada jaminan untuk kehidupan mapan di luar sana. Tiada pula kepastian juga yang bisa diagung-agungkan. Namun ini adalah pilihan dengan kesadaran penuh untuk menerima segala konsekuensi. Karena aku paham betul bahwa satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian.


Jadi, selamat tinggal. Maaf saja, waktuku terlalu mahal untuk diperjualbelikan. Dan bukan tipeku untuk menunduk pada hal-hal yang berseberangan dengan keutuhan paradigmaku. Inilah aku dengan sayap kebebasan.

Catatan: Diadopsi dari Shingeki No Kyojin Atack on Titan

Sayap Kebebasan

Sehari sebelum prosesi wisuda dimulai, seorang penjaga warung langganan saya bertanya, “Mas, besok hari paling bersejarah ya?”

Saya terdiam sejenak. Mencari arti, makna yang tersembunyi serta hal-hal yang barangkali ada dari prosesi wisuda.

“Biasa saja, Mas,” kata saya pada akhirnya sebagai bentuk nihil atas kesan ataupun pesan yang tersimpan di sana. Dan tiada teristimewa.

Menurut saya, wisuda adalah awal ketika buku-buku tiada lagi terbaca. Sebuah masa kala bukan lagi hal mudah untuk mengumpulkan massa untuk memecahkan masalah pada setiap persoalan yang tak terjawab di bangku kuliah. Tentang rutinitas diskusi sebagai salah satu bentuk syukur atas fungsi akal budi. Di lain sisi ada masalah tersendiri, terkait bagaimana keadaan mahasiswa kupu-kupu yang hanya mengisi hari-harinya dengan kuliah pulang-kuliah pulang. Atau mereka yang bekerja sebagai copaster, mengisi seluruh isi diksi dalam presentasi dengan ctrl A, ctrl C dan ctrl V. Juga mereka-mereka yang hanya memanfaatkan informasi-informasi dari internet sebagai sumber referensi.

Satu hal yang tak terbantahkan bahwa wisuda secara pasti telah menambah beban pemerintah sebab lonjakan angka pengangguran yang signifikan. Ada kegalauan di sana perihal pekerjaan. Juga butuh adaptasi berat di mana-mana pada masa transisi seusai kuliah. Tentang realita yang buas, tentang kondisi sosial yang bukan lagi bisa dijawab dengan teori di atas kertas. It’s survival for everyone, for every singgle one. Sewujud korelasi terbalik antara harapan dan kenyataan.

Hingga akhirnya, semua kembali pada diri sendiri terkait kapasitas apa yang dimiliki serta keahlian apa yang telah dipahami. Ini adalah ranah tindakan. Tahap aplikasi dari visi atau impian yang ingin dikejar dan digenggang. Sebuah proses jangka panjang yang tidak bisa instan. Semua tidak cukup dengan sebatas kuantitas angka yang diperoleh dari akumulasi tugas-tugas.

Jadi, di manakah posisi Anda saat ini? Saya tidak tahu apakah Anda sedang mencari kerja atau sedang akan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Satu hal yang saya tahu, setiap dari diri Anda memiliki potensi yang luar biasa. Terlepas Anda memanfaatkannya atau tidak.


Yang jelas, semua boleh berhenti kuliah. Juga tidak begitu masalah jika tidak diterima dalam lapangan pekerjaan. Akan tetapi, semua tidak boleh berhenti belajar. Tidak ada yang boleh menjadi pengangguran. Karena setiap dari kita harus memiliki kesibukan tersendiri meski tidak bekerja. Pada dasarnya masih begitu banyak peluang usaha yang tak pernah ditawarkan di lapangan pekerjaan.

Apa Sesungguhnya Arti Wisuda

- Copyright © Aksara Senja Embara - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -