Saturday, September 16, 2017
Sumber Gambar: ImgStocks.com
Pada dasarnya menikah bukan semata urusan dua manusia
yang sedang dilanda cinta yang seolah dunia beserta isinya hanya milik mereka
sementara yang lain dianggap ngontrak, namun tentang bagaimana menikahkan
masing-masing anggota keluarga dengan setiap status sosial yang disandang.
Tentang bagaimana masing-masing wali yang sebelumnya bukan siapa-siapa bahkan
bisa jadi di antara mereka tidak pernah saling mengenal—harus mempunyai
pemikiran yang sama hingga anaknya menikah. Sesederhana itukah?
Harus diakui bahwa aku terlampau paranoid dan sudah
sepantasnya seseorang menghujat kalau pemikiranku itu kejauhan. Cukup jalani
aja dan pikirkan apa yang ada hari ini, beres. Maaf, dengan kerendahan hati aku
sampaikan, aku tidak bisa. Masalahnya adalah, sebuah tujuan atau visi yang
ingin diraih—kerap kali dijumpai jalan berliku dan disertai rintangan. Lantas
apa jadinya jika persoalan jangka panjang yang menyangkut urusan kedua belah
pihak dan menyangkut nama keluarga masing-masing—tidak dipikirkan secara matang,
bisa dibayangkan? Sekali lagi mohon maaf, aku tidak bisa terima kalau-kalau
keadaan nantinya memburuk yang akhirnya menyalahkan satu sama lain, “Kenapa
kamu tidak bisa gini tidak bisa gitu? Kenapa ngurus ini aja gak becus?”
Perlu digarisbawahi, dengan menikah maka hak kepemilikan
satu sama lain menjadi mutlak. Kebebasan bukan lagi hal yang bisa ditebus dan
satu sama lain harus siap menjadi budak untuk setiap waktu harus saling sedia
untuk menjadi pemuas dan menuruti ini itu yang kadang tidak peduli atas
konsekuensi apa yang menanti. Batas-batas privasi bukan lagi hal yang bisa
ditoleransi. Dan status lajang sudah tiada lagi dan mustahil untuk kembali
didapatkan. Sebab status yang disandang usai menikah adalah menikah atau duda
maupun janda. Apakah sama status janda dan duda itu setara dengan status
lajang? Atau kasarnya, apakah harga barang bekas itu sama dengan barang baru?
Memang ada berbagai keindahan serta kenikmatan yang hanya
ada pada pernikahan dan tidak ditemukan di status lajang. Sampai kapan pun
tidak akan pernah. Tetapi, mungkinkah dalam 24 jam sehari, tujuh hari dalam
seminggu dan bertahun-tahun mendatang bersama pasangan hanya diisi oleh
kebahagiaan semata? Yang jelas, jika satu atau keduanya gagal menjalankan hak
dan kewajibannya, keadaanya akan memburuk. Terlepas siap atau tidak siap. Ini
bukan lagi survival secara individual, tetapi bagaimana bisa menyatukan
langkah dan mampu untuk senantiasa bersikap “saling mengimbangi”.
Dan lagi, apakah angka perceraian bisa lebih kecil
daripada angka peernikahan tiap tahunnya? Dan bisakah nominal rupiah yang
dihabiskan untuk urusan perceraian bisa lebih kecil daripada prosesi
pernikahan, lengkap beserta seluruh biaya yang dihabiskan baik sebelum atau
sesudah pesta?
Selebihnya, itulah alasan kenapa saya lebih menganggap
rumit untuk hal-hal yang sebagian orang menganggap remeh. Memang selalu ada
rasa iri terkait nuansa romantis ataupun kemesraan yang biasa saja di umbar di
mana-mana. Dan menurutku itu normal. Hingga akhirnya, satu-satunya pertanyaan
yang belum terjawab, haruskah pernikahan itu disegerakan?
Semua kembali pada persoal personal, seberapa matang
kesiapan yang dimiliki dan yang pasti, setiap pilihan memiliki konsekuensi yang
tidak bisa dihindari.