Thursday, August 16, 2018
theodysseyonline.com
“Apa kau benar-benar tidak ingin mencobanya?”
tanyaku.
“Mungkin akan menjadi hal luar biasa ketika orang
lain melakukannya. Ya, hanya sekadar melakukannya. Namun tidak untukku. Bahkan
jika aku mampu keluar sebagai pemenang, tak seorang pun akan peduli,” jawab
Jean.
Hening. Aku mengaduk-aduk bongkahan es dalam gelas
sekaligus mengaduk isi pikiranku. Mencoba mencerna kata demi kata dari apa yang
ia sampaikan barusan.
Jean meneguk susu terakhir di gelasnya.
“Namun, akan kupertimbangkan,” kata Jean.
“Barangkali bisa jadi kesan terakhirku di sini.”
“Apa maksudmu?”
Jean berlalu meninggalkan kantin sekolah.
Menyisakan pertanyaan demi pertanyaan yang tidak bisa kupahami. Yah, begitulah
Jean. Dia ke kantin hanya untuk sekadar minum susu atau kopi. Kalau tidak
begitu, paling-paling cuma ditambah roti. Katanya, “Aku butuh asupan yang cepat
dicerna atau aku akan tidur di kelas.” Dia selalu pergi dahulu ketika aku masih
menunggu sarapan pagiku yang masih disiapkan penjaga kantin.
Setelah dari kantin, tujuan Jean selanjutnya sulit
ditebak. Bahkan untuk teman sebangku sepertiku. Aku hanya bisa memastikan kalau
dia tidak berada di kelas, berarti dia hanya akan muncul setengah jam setelah
bel pulang berbunyi. Kecuali jika dia diciduk SATPOL PP atau guru BP di warnet
depan sekolah. Warnet itu sudah menjadi lokasi yang paling sering dikunjung. Pernah
dia pulang ke rumah dengan menggunakan bus, meninggalkan alat tulis beserta
perlengkapan sekolah yang berada dalam tas. Sejauh itulah yang aku tahu. .
Kebiasaan Jean membolos bermula sejak semester
genap ketika kelas X. Tepatnya setahun yang lalu. Sebenarnya jumlah bolosnya
tidak seberapa tetapi absen atau ketidakhadirannyalah yang terlampau sering.
Tadi sebelum ke kantin, dia menghabiskan satu jam pelajaran di ruang BP. Ketika
aku menanyakannya, dia hanya menjawab, “Seperti biasa. Tidak penting.”
Aku masih tidak paham apa yang dia pikirkan
sehingga menjawab demikian. Padahal, apa saja yang disampaikan guru BP selalu
mengandung pesan moral serta hal penting lainnya. Itu keyakinanku.
***
Usai pelajaran berakhir, kelas kembali gaduh.
Tidak lain karena lomba antar kelas yang diadakan sekali tiap tahunnya.
Kemarin, keputusan tentang siapa yang maju untuk mewakili lomba cerpen adalah
aku dan Jean. Jika pada akhirnya Jean tetap tidak mau, satu perwakilan saja
dianggap cukup. Perlu diketuhi, aku maju mewakili lomba ini bukan karena aku
bisa menulis cerpen, namun karena hanya akulah yang belum mendapatkanjatah
partisipasi lomba sementara yang lainnya sibuk sebagai panitia karena tergabung
sebagai OSIS. Untuk Jean, dia dianggap berpengalaman karena pernah ikut tahun
lalu.
Hari ini hasil rundingan teman sekelas hanya
memastikan bahwa nama-nama yang telah ditetapkan kemarin tidak berubah. Jadi,
rapat kelas hari iniberjalan lebih cepat dari kemarin sehingga aku bisa pulang
tidak terlalu sore. Dan semua diputuskan tanpa kehadiran Jean.
Sebelum pulang, aku merapikan buku-buku Jean lalu
memasukkannya ke tasmiliknya yang tertinggal di kelas. Bukan apa-apa, aku hanya
merasa kasihan. Sebenarnya dia adalah siswa yang cerdas. Bahkan bisa dibilang
genius. Hampir di setiap ulangan, kesalahan terbanyak hanya tiga. Selebihnya
hampir tidak ada kesalahan. Dan itu untuk setiap pelajaran. Sayangnya,
reputasinya buruk. Baik di hadapan guru ataupun di hadapan teman-teman.
Dua minggu lalu, ketika kelompok enam yang terdiri
dari lima siswa melaksanakan persentasi di kelas, salah seorang dari mereka
yang tidak perlu aku sebut namanya—membatasi pertanyaan. Katanya, “Semua boleh
bertanya kecuali Jean.”
Dalam batasan itu, sebenarnya hanya ada dua
kemungkinan. Pertama, karena tidak suka dengan siswa yang suka membolos. Kedua,
karena setiap pertanyaan Jean sulit dijawab. Alasan terakhir ini yang sering
terjadi ketika ia bertanya kepada guru yang mengajar. Biasanya jawaban yang
diberikan tidak sesuai dengan pertanyaan, kadang juga sang guru meminta waktu
dua hari untuk menjawab pertanyaan tersebut.
“Terima kasih telah merapikan buku-bukuku,” kata
seseorang di belakangku.
Secara reflek, aku menoleh.
“Jean,” aku menyapa.
“Baiklah akan kucoba,” kata Jean. “Tetapi, apa kau
mau sebentar saja untuk mampir kerumahku? Kita kerjakan bersama.”
“Kenapa tidak?” jawabku penuh semangat.
***
Sebenarnya rumah Jean selalu kulewati ketika
pulang. Bus yang kutumpangi juga berhenti tepat dirumahnya kerena Jean juga
menggunakan sarana transportasi yang sama. Hanya disebab rasa sungkan, aku
jarang bermain ke rumahnya. Bagiku, kediamannya tidak bisa disebut rumah
melainkan istana. Dua pilar kolosal menjulang di bagian depan dan istana itu
bisa dilihat dari kejauhan karena ketinggiannya yang kontras dibandingkan dengan
rumah-rumah tetangga.
“Oh ya, bagaimana kau tahu kalau aku juga ikut
lomba cerpen ini?” tanyaku.
“Sudah kuhitung berapa jumlah siswa di kelas kita dikurangi
anggota OSIS lalu dibagi setiap bidang lomba. Sederhana, bukan?”
Hari ini adalah pertama kalinya aku diajak ke
kamarnya. Seingatku, dua atau tiga kali aku sempat bermain ke rumahnya namun
hanya sekadar duduk atau bermain PS di ruang tamu. Aku menebak bahwa kecerdasan
Jean tersimpan di dalam kamarnya. Bagaimana tidak, dinding-dindingnya dipenuhi
rak buku. Ini seperti bukan kamar tetapi perpustakaan pribadi dengan jumlah
judul buku lebih banyak daripada jumlah judul buku di perpustakaan sekolah.
“Apa kau membaca seluruh buku ini?” tanyaku.
“Tidak. Aku hanya membaca buku-buku yang memberikan
pengetahuan baru serta melatih logika. Buku-buku seperti itu tidak banyak di
perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan umum. Namun ada 97% di sini.”
Itu artinya dia telah membaca hampir keseluruhan
buku-buku di sini. Sulit dipercaya. Bagiku, buku tidak lebih sebagai dongeng
pengantar tidur. Aku sering mengantuk setelah membaca dua sampai tiga halaman.
Siang itu, ibu Jean mengambilkan sepiring roti
kering yang super nikmat. Ya, ibunya sendiri yang turun tangan menjamuku
sebagai tamu—bukan pelayan-pelayannya. Ayah-ibunya Jean selalu ada ketika aku
ke sini. Kalau dibilang sibuk, mereka memiliki banyak aset yang tersebar di
berbagai kota. Tetapi, keduanya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah karena
hanya sesekali dan hanya beberapa jam saja memantau dari aset satu ke aset yang
lain. Selebihnya, mereka mempercayakan kepadatangan kanan.
Seperti rencana, kami menulis cerpen bersama. Kami
saling bertukar pikir dan Jean sering membenahi kesalahan-kesalahan pada
ceritaku.
“Kau tahu,” kata Jean, “aku sudah dua kali
mengikuti lomba serupa dalam lingkup sekolah. Di SMP-ku dulu dan tahun lalu
mewakili kelas kita. Dan aku didiskualifikasi.”
“Apa kau tahu penyebabnya?”
“Mereka menilai bahwa aku curang. Mereka bilang
bahwa karanganku terlalu bagus untuk anak seusiaku, mereka menuduh bahwa ada
orang lain yang membuatkannya.”
“Bagaimana bisa?” tanyaku penasaran.
“Entahlah. Biar ini yang terakhir kali aku
berpartisipasi di sekolahmu. Aku akan keluar setelah ini.”
“Hey...kenapa harus keluar? Bukankah tinggal
setahun lagi proses kita?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan pada para guru
yang sering berdebat satu sama lain hanya demi mempertimbangkan nilaiku. Aku
kasihan pada guru-guru BP yang terlalu banyak menghabiskan waktunya untukku
sehingga mengesampingkan siswa lain. Dan, yang jelas terlalu banyak beban untuk
para guru serta kawan-kawan selama aku berada di sekolah itu.”
“Jean, semua itu bisa dibicarakan baik-baik,” aku
memohon.
“Ayahku sebenarnya sudah menyaranku untuk pindah
sekolah sejak kali pertama aku bolos sekolah.Tetapi aku meminta waktu kala itu,
karena bagiku kau adalah sahabat pertama dan satu-satunya.” []